Pages

Tuesday, May 4, 2010

Sang Raja Jin – Novel tentang Cinta, Doa, dan Impian


Review Buku


Judul : Sang Raja Jin – Novel tentang Cinta, Doa, dan Impian
Pengarang : Irving Karchmar
Penerbit : Kayla Pustaka, Cetakan III, Januari 2009
Tebal : 297 halaman



“Hatiku telah mampu menerima segala macam bentuk.
Hatiku adalah padang bagi rusa, biara bagi para rahib,
Kuil bagi penyembah berhala, Ka’bah bagi para peziarah,
Dan altar bagi Taurat dan Al Qur’an.
Kuikuti agama Cinta; kemana saja unta Cinta membawaku,
Itulah agama dan imanku.”

- Tarjumanul Ashwaq (Penerjemah Kerinduan), Syaikhul Akbar Ibnu Arabi –



Buku ini berkisah tentang perjalanan Ishaq, seorang murid dari sebuah Tarekat Sufi (arab: thariqoh, ordo mistis dalam Islam) yang berbasis di Yerusalem. Syekh (Guru) dari Tarekat Sufi dalam cerita ini bernama Syaikh Amir al Haadi, seseorang yang dipercaya sebagai Wali Quthb (pimpinan para wali/orang suci) pada zamannya. Ditulis dari sudut pandang kesatu (Ishaq), pengarang buku ini – Irving – seorang sastrawan berkebangsaan Yahudi yang menjalani ordo mistis/tarekat sufiyah Ni’matullahi dibawah bimbingan Dr Javad Nurbaksh – membawa kita ke dalam sebuah kisah indah yang ditulis bagaikan cerita 1001 malam; dimana ia melibatkan legenda Nabi Sulaiman, Sang Raja Jin, dan seorang faqir sakti yang menguasai ilmu Nabi Khidr.

Kisah ini dimulai di Yerusalem, dalam sebuah perjamuan makan di khaniqah (zawiyah, atau markas, atau madrasah) tarekat ini, ketika Sang Syekh menerima tiga orang tamunya yang bernama Profesor Solomon Freeman (Direktur Departemen Peninggalan Purbakala di Universitas Yerusalem), Rebecca (putri sang profesor), dan Aaron Simach (seorang Kapten dalam kesatuan Tentara Israel). Ketiga tamu istimewa ini ternyata membawa suatu artifak berusia ribuan tahun yang dikenal dalam pelbagai ajaran agama dan legenda mengenai Nabi Sulaiman; sebuah lembaran papirus kuno yang memberi petunjuk mengenai keberadaan sebentuk cincin berlian yang dikenal juga dengan Bintang Daud, Cincin Sulaiman – konon mengandung kekuatan/kesaktian luar biasa dari Sang Nabi – yang tersimpan dalam sebuah silinder gading; ditemukan secara tidak sengaja oleh Kapten Aaron dalam sebuah gua tersembunyi di padang pasir.

“Kebenaran tidak bisa ditemukan dalam buku-buku. Kau harus mencari jawabannya di tempat yang sama ketika engkau menemukan pertanyaannya.” (h.95)

Berbekal misteri yang baru saja terungkap kembali setelah ribuan tahun tersembunyi ini, Syekh Amir meminta Prof. Solomon, Rebecca, Kapt. Simach, berserta ketiga murid beliau : Ali, Rami, dan Ishaq – sebagai juru tulis – tidak membuang-buang waktu lagi untuk berangkat ke padang pasir guna membongkar rahasia dibalik penemuan artifak ini, dan menemukan Cincin Sulaiman. Namun sebelum rombongan ini memulai perjalanan, bergabunglah seorang faqir yang memiliki peran kunci dalam kisah ini, yaitu seorang darwis pengembara miskin (Sufi Qalandar) bernama Jasus al Qulub (Mata-mata Hati), yang akan “menuntun” mereka dalam perjalanan.

Setelah beberapa kejadian di khaniqah dan sebuah kejadian dramatis yang melibatkan Kapten Simach, ketujuh orang ini berangkat menuju gurun pasir guna mengungkap rahasia dibalik Cincin Sulaiman. Mereka mencari sebuah “jalan badai” – jalan rahasia yang membuka dirinya hanya pada saat tertentu, pada tempat tertentu, dimana ketika ia membuka dirinya, waktu pun terhenti, dan sebuah jalan menuju dimensi lain terbuka – dimensi rahasia alam Jin.

“Aku mohon kekuasaan; kutemukan dalam pengetahuan.
Aku mohon kehormatan; kutemukan dalam kemiskinan.
Aku mohon kesehatan, kutemukan dalam kesederhanaan.
Aku mohon beban diringankan; kutemukan dalam diam.
Aku mohon hiburan, kutemukan dalam keputusasaan.”
(Ali Sahl Esfahani, h.147)

Syahdan, kapal laut yang mereka tumpangi tiba di Aljazair, kemudian mereka mengambil rute darat ke arah Gunung Atlas, melintasi rute ke utara melalui Gurun Sahara. Berbekal intuisi Kapten Simach – atau, lebih tepatnya – Ruh Sang Raja yang telah menyapu jiwa sang Kapten – mereka dapat menemukan “jalan” itu terbentang di tengah-tengah mata badai gurun Sahara. Jalan itu memancing keingintahuan mereka untuk membuka sebuah sumur yang ditutup oleh segel Bintang Daud – dan sumur itu membangkitkan sesuatu yang jahat, yang seharusnya terkubur ribuan tahun lalu namun ternyata masih hidup hingga saat ini, sesuatu yang mengerikan dan terbuat dari api, bernama : Baalzeboul, si Raja Jin.

Berbekal takbir, “Allahu Akbar!”, dua bersaudara – Ali dan Rami – mengorbankan tubuh mereka dengan jalan menceburkan diri ke dalam sumur api guna menghalau si Raja Jin. Sang faqir, marah karena kecerobohan orang-orang yang dibimbingnya, turut menceburkan diri ke dalam sumur api – hingga wujud aslinya terungkap – sambil meminta kepada Ishaq untuk lari kembali kepada Syekh karena sekarang hanya Syekh yang bisa membantu. Tersesat di gurun dalam keadaan antara hidup dan mati, antara lupa dan ingat, akhirnya Ishaq diselamatkan oleh orang-orang Tuareg dan akhirnya bertemu dengan sang Guru. Sementara itu, Prof. Solomon, Rebecca, dan Kapt. Simach, “tertidur” dalam “malam abadi” karena subuh hanya datang untuk Ishaq yang dapat melarikan diri sebelum terlambat.

“Seorang Qutb adalah kutub atau poros dua dunia: dunia manusia dan jin.” (h.207)

Syekh, Ishaq, dan Amenukal (kepala suku Tuareq) berangkat untuk sebuah misi penyelamatan bagi Ali dan Rami yang telah tersesat di dunia Jin, dunia Iblis Baalzeboul. Kembali ke tempat semula, mereka menemukan ketiga orang yang tertidur dalam “malam abadi”. Ternyata, bagi ketiga orang ini – Prof Solomon, Rebecca, dan Kapt Simach – “malam” baru berlalu beberapa jam – namun waktu yang sesungguhnya bergulir bagi Ishaq dan dunia pada umumnya telah berlalu selama sebulan!

Atas berkah karomah (kesaktian atau keistimewaan kekuatan ajaib dari orang suci) dari Sang Syekh, sumur yang semula menyemburkan api sekarang menjadi terisi air dan menjadi “jalan” bagi rombongan untuk memasuki dunia Jin.

“Allahu Akbar!” kata Syekh. “Tanpa Allah, air kehidupan adalah api.” (h.225)

Berbekal kalimat itu, maka mereka berenam, berpegangan tangan, melangkah masuk ke dalam sumur, dan “terbang” atau terjun bebas ke kedalamannya – ke dalam dunia Jin. Tersadar setelah jatuh bebas ke dalam sumur, mereka terbangun untuk melihat sebuah kengerian lain yang sulit dinalar oleh manusia : gunung-gunung kegelapan berwarna hitam yang lubang-lubangnya menyemburkan api, yang secara misterius membentuk pola-pola geometris tertentu diluar batas pandang mata manusia. Itulah Jinnistan, atau “Kerajaan Jin”, sebuah kota atau tempat yang konon dibangun atas perintah Nabi Sulaiman, yang terletak persis dibawah reruntuhan Tadmor, kota hilang yang disebut “Kota Sihir”, yang pada zaman dahulu diperintah oleh Ratu Sheba. Mereka disambut oleh sang faqir disini, yang kemudian memandu mereka ke istana Nabi Sulaiman, yang disebut Iahar-Halibanon, Hutan Lebanon.

“Awan perpisahan telah dibersihkan, dari rembulan cinta yang menawan.
Dan cahaya pagi telah bersinar, dari gelap Kegaiban.”(h.237)

Itulah nyanyian sama’ yang sedang dilantunkan oleh Rami, diiringi tiupan ney (seruling Turki) dari Ali, ketika rombongan itu bertemu dalam Istana Hutan Lebanon. Namun bukan hanya Ali dan Rami yang ada disana – di singgasana hitam, duduk sesosok makhluk yang amat tinggi dengan wajah menyeramkan – Baalzeboul, Raja para Jin.

“Ketahuilah – buah penyesalan telah masak jika rantingnya telah menunduk.” (h.242)

Quthb telah datang untuk menjawab kerinduan dari Raja. Terisolasi selama ribuan tahun, mereka – bangsa Jin – merindukan kehadiran seorang pemandu setelah Sulaiman meninggalkan mereka – pemandu yang akan membawa mereka kembali ke hadirat Tuhan, Sang Mentari Abadi yang tak pernah tenggelam. Syekh, Baalzeboul, Amenukal, dan Kapten Simach pergi ke Majelis Agung Jin untuk menjawab panggilan mereka, sementara sisa rombongan, ditemani oleh sang faqir, tinggal di Istana Sulaiman. Mengetahui kegelisahan mereka yang ditinggalkan, sang faqir, dengan kemampuannya, “menyambungkan” indera mereka dengan inderanya sendiri, sehingga mereka dapat “melihat” apa yang terjadi dalam Majelis Agung Jin.

Syahdan, para jin dalam pelbagai bentuk (yang mengerikan), rupa, dan warna api, berkumpul untuk mendengarkan pesan dari Sang Quthb. Syekh, sang Wali Qutb, berbicara dan memimpin golongan Jin untuk bersembah sujud kepada Tuhan – namun terjadi penentangan dari Ifrit! Ifrit beserta sebagian golongan Jin menentang kehendak sang Raja – dan pertempuran terjadi. Setelah pertempuran yang dimenangkan oleh Baalzeboul berakhir, Syekh memperkenalkan Amenukal – yang ternyata adalah seorang Wali (orang suci) yang memiliki level Naqib (satu level dibawah Quthb) untuk membawa cahaya harapan Ilahi bagi penduduk Jinnistan, dan menjadikan Istana Sulaiman yang kedua (Hutan Lebanon) menjadi “khaniqah Jinnistan”.

“dan tulislah bahwa beribadah kepada Tuhan berarti juga melayani semua makhlukNya, dan Jalan Cinta adalah harapan bagi manusia dan jin.” (h.262)

“Cinta menutup semua dosa.” (h.263)

Kisah ini ditutup dengan sebuah epilog yang menceritakan kondisi Ishaq, dan khaniqah sang Syekh di Yerusalem, sepulangnya mereka dari perjalanan di alam jin. Ternyata sang faqir – yang tinggal di Jinnistan sekarang – telah menyiapkan hadiah “rahasia” bagi masing-masing anggota rombongan.

“Tubuh sujud dalam shalat, dan jiwa meraih cinta, ruh sampai ke kedekatan dengan Tuhan, sedangkan hati mendapatkan kedamaian dalam persatuan dengan Allah.” (h.284)

Buku ini terpilih sebagai bacaan wajib di Oregon University USA dan telah diterjemahkan ke dalam 8 bahasa. Ditulis oleh seorang sastrawan Yahudi yang juga seorang murid dari Ordo/Tarekat Ni’matullahi, buku ini berisi kumpulan tradisi (adab) ordo mistisisme dalam Islam yang mencerminkan praktek keseharian dalam khaniqah; tatacara makan, sopan santun dalam berhadapan dengan Guru, tatacara bay’at (inisiasi Ordo), dan juga sedikit mengenai praktek dzikir dan sama’ dalam tarekat. Untaian kisahnya mengalir, enak untuk dinikmati, dan berisi kutipan-kutipan bermanfaat yang disarikan dari pelbagai kitab dalam tradisi sufi Islam. Saya pribadi merekomendasikan buku ini baik sebagai hiburan, bahan renungan, ataupun…untuk mencari sesuatu yang lain dan menggugah kembali pengalaman batin bagi setiap manusia yang merindukan Tuhan, terlepas dari apapun agama atau kepercayaan mereka. Highly recommended and praised.


AB/Bandung, 05Mei2010, 02.35

Sunday, May 2, 2010

Mr China, Kisah Dramatis tentang Kejatuhan Jutawan Wall Street di Negeri Tirai Bambu


Review Buku


Judul : Mr China, Kisah Dramatis tentang Kejatuhan Jutawan Wall Street di
Negeri Tirai Bambu
Pengarang : Tim Clissold
Penerbit : Alvabet, Cetakan I, September 2007
Tebal : 350 halaman + xiii



“Tiga tukang sepatu berbau busuk bisa mengalahkan Zhuge Liang (sang Guru)”
(kutipan terkenal dari Mao Zedong di era 50’an)



China. Sebuah negara besar dengan lebih dari 1,5 miliar penduduknya yang memiliki beban warisan sejarah 5000 tahun. Napoleon Bonaparte berkata, “di Cina tertidur seekor Naga raksasa – biarkan ia tertidur, sebab jika ia terbangun, ia akan mengguncang dunia!”


Buku ini bercerita mengenai pengalaman pribadi, sebuah kisah nyata dari penulisnya (Tim Clissold) dalam usahanya membantu seorang investor kakap dari Wall Street bernama “Pat” untuk ‘menaklukkan China’ selepas era keterbukaan investasi yang dicanangkan oleh Deng Xiaoping melalui tour selatannya yang terkenal, dimana Deng membuka daerah pesisir bagi pembukaan komplek mega-industri yang disimbolkan oleh penanaman sebuah pohon seraya berkata, “menjadi kaya itu mulia!”.


Tim, seorang ras Kaukasia warganegara Inggris yang memiliki ketertarikan khusus kepada negara Cina serta budayanya, meninggalkan pekerjaannya yang mapan dan bergaji tinggi di Biro Arthur Andersen London untuk menjadi mahasiswa miskin di Cina Komunis, mempelajari bahasa dan budaya Cina secara langsung, menyambung hidup sehari-hari dengan nasi dan sayur kubis, dan menggigil kedinginan di musim dingin karena Pemerintah Cina tidak menyediakan pemanas ruangan di asrama mahasiswanya pada saat itu. Namun ia lebih beruntung – mahasiswa Cina yang lain terpaksa berbagi ruangan yang ia tempati seorang diri dengan 5 hingga 7 mahasiswa lainnya – pada saat itu, sekitar tahun 1988.


Di tengah masalah finansial yang melanda Tim sehingga ia terpaksa bekerja paruh waktu semasa kuliah di Cina, pertolongan datang. Sebuah perusahaan finansial besar dari Amerika mencari penutur bahasa Mandarin untuk membantu dalam ekspansi usaha (investasi) ke Cina daratan – dan ternyata perusahaan itu adalah perusahaan lama Tim, yaitu Arthur Andersen!


Dari sini kita memulai sebuah petualangan yang sarat tantangan ibarat perjalanan roller coaster – menegangkan, menyenangkan, mengharukan, dan terkadang mengerikan – serta menguras darah dan air mata (secara nyata) – hingga pada titik baliknya, dimana seorang Tim yang sehat dan kuat secara jasmani di usia 38 tahun menderita serangan jantung dadakan ibarat “dihimpit dengan beban gunung Taishan” dalam menjalani perannya sebagai seorang eksekutif finansial yang membantu “penaklukan China”.


Di atas kertas, Cina adalah sebuah negara dengan pasar yang amat menjanjikan (penduduknya berjumlah lebih dari 1,5 milyar) dan dengan keterbukaan investasi yang dicanangkan oleh Deng Xiaoping, Cina menarik minat banyak orang dari pelbagai penjuru dunia yang memiliki uang untuk diinvestasikan guna membuka “usaha bersama” dengan Pemerintah Cina. Cina memiliki pasar, lahan yang amat luas, sumber buruh dan tenaga kerja yang murah dan amat sangat banyak, namun tanpa uang untuk diinvestasikan, serta kemampuan manajemen modern untuk mengelolanya, Cina tidak mungkin bergerak maju. Di sinilah masuk seorang “Pat”, ahli finansial terkenal dari Amerika yang sanggup menggalang dana investasi sebesar kurang lebih 400 juta US dollar untuk memanfaatkan “celah manajemen” ini dengan harapan menguasai industri Cina dan tentunya menarik manfaat (keuntungan) sebesar-besarnya dari kondisi ini.


Namun ada hal yang Pat (dan Dewan Komisaris Wall Street, serta orang-orang ras Kaukasia pada umumnya) lupakan; Cina bukanlah Amerika, dan Asia bukanlah Eropa. Lupakan Excel, lupakan Spreadsheet, lupakan angka-angka, lupakan pelajaran manajemen bisnis modern yang lazim dipraktekkan di negara-negara maju; Cina adalah negara dengan sistem komunis dimana keterbukaan manajemen menjadi sebuah masalah dan persaingan bebas adalah sesuatu yang amat sangat asing bagi rakyat Cina dan pemerintahnya (pada saat itu). Penunjukan Direktur bukan melulu berdasarkan kompetensi atau keahlian melainkan juga dipengaruhi oleh koneksi serta penunjukan dari Partai Komunis. Pemecatan tim manajemen, atau karyawan, yang dianggap tidak kompeten bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan secara baik-baik seperti perusahaan modern pada umumnya; tidak jarang, hal ini bisa mengakibatkan kerusuhan serta “pertempuran” yang menguras darah serta air mata dan diselesaikan dengan kehadiran tentara di pabrik pada akhirnya. Kontrak kerja bukanlah sesuatu yang mengikat, melainkan lebih sebagai suatu ‘acuan’ yang dapat (dan perlu, atau selalu) dinegosiasikan kembali di tengah perjalanan bisnis. Bisnis adalah perang; dan peperangan adalah “seni manipulasi” (atau dapat dikatakan pula sebagai “seni tipu menipu”).


Tim, sebagai seorang ‘middle manager’ yang memiliki ketrampilan berbahasa Cina serta memahami kondisi riil di lapangan, terjepit di tengah-tengah diantara tuntutan Dewan Komisaris di Wall Street dan gejolak dinamika yang terjadi di pabrik-pabrik yang mereka beli di seluruh penjuru Cina. Bagi Dewan Komisaris di Wall Street, manusia adalah angka – jika terlalu banyak karyawan yang tidak kompeten, solusinya hanyalah satu: pecat! Jika ada direktur atau manajer Cina yang tidak kompeten, solusinya pun sama saja : pecat dan ganti! Namun bagi Tim sebagai pelaksana di lapangan, pemecatan karyawan bisa berujung kerusuhan publik yang melibatkan pemerintah serta tentara; pemecatan manajer atau direktur lokal bisa berakibat “peperangan” berkepanjangan yang melibatkan pengadilan, pemerintah lokal, kementrian di Beijing, dan pelbagai pihak lainnya.


Terdapat perbedaan sudut pandang yang kontras antara Wall Street dan Cina. Kegagalan memahami kondisi lokal (yang diperparah dengan ketidakpedulian dewan komisaris/investor mengenai masukan dari tim pelaksana, dan tekanan yang kuat untuk menghasilkan keuntungan dalam jangka pendek) berakibat kegagalan operasional, yang mana pada ujungnya, membawa kerugian secara keseluruhan dalam skala masif, mengingat besarnya investasi yang dipertaruhkan.


Terdapat 3 contoh kasus yang dapat dijadikan “studi bisnis” disini, yaitu “Pertempuran Ningshan: Naga Paling Kuat Tidak Dapat Mengalahkan Ular Setempat”, “Serangan Jingzhou: Di Langit ada Burung-burung Berkepala Sembilan, di Bumi ada Orang-orang dari Hubei”, dan “Botol pun Akhirnya Meledak: Sembilan Belas Ribu Catty Digantung dengan Sehelai Rambut”; dimana contoh kasus bisnis ini mengajarkan kita bahwa pertempuran, atau peperangan, entah itu di medan laga, ataupun di medan bisnis, pada hakikatnya mengikuti kaidah yang sama dan memerlukan strategi yang kurang lebih sama; dan pada hal ini, manajer yang tidak pernah membaca Strategi Perang Sun Tzu dan gagal dalam memahaminya, bisa mengalami kekalahan telak dan mengalami kerugian jutaan US dollar – karena dalam hal Strategi Perang Cina, mau tidak mau, suka atau tidak suka, bangsa Cina adalah “jagonya”. Diperlukan seorang manajer yang dalam peribahasa Cina dikatakan memiliki “Muka Tebal dan Hati Hitam” (pantang menyerah dan memiliki ketahanan batin yang luar biasa).


Buku ini ditulis dengan baik dari sudut pandang orang kesatu sebagai praktisi bisnis yang mengalami semua kejadian secara langsung. Mengikuti gaya penulisan novel, kita dapat dengan mudah mengikuti semua cerita tanpa harus melulu terfokus pada masalah bisnis atau pertempuran yang sedang terjadi; Tim memiliki wawasan dan pemahaman yang amat luas mengenai sejarah, bahasa, dan budaya Cina, sehingga setiap bab memiliki bingkai latar belakang yang indah dan menyeluruh, sehingga dengan membaca buku ini, seolah kita sendiri hadir disana sebagai penulis dan turut merasakan ketegangan serta pengalaman yang ia alami (utamanya bagi praktisi bisnis yang pernah bergumul dengan masalah manajerial, niscaya buku ini dapat dijadikan sebagai tambahan wawasan yang ditulis dengan gaya populer).


Dari “pembukaan Cina” tahun 1992 oleh Deng Xiaoping hingga sekarang tahun 2010, telah banyak perubahan yang terjadi di Cina hanya dalam waktu 18 tahun saja – dari negara yang mewarisi sistem ekonomi terkontrol ala komunis (lengkap dengan ribuan pabrik bobrok terlantar yang kelebihan ribuan pekerja yang kadang digaji dengan beras dan sampo) menjadi “Naga Asia” yang memiliki cadangan devisa dalam US dollar terbesar di dunia. Di buku ini disebutkan sebuah contoh kejadian, dimana runtuhnya sebuah jembatan yang baru dibangun (karena korupsi) dapat membawa ke hukuman mati dan dicopotnya beberapa pejabat yang berwenang. Sungguh amat berbeda dengan negara kita, dimana pelaku korupsi malah dilindungi, disanjung dan dimenangkan oleh pengadilan. Mungkin sudah saatnya kita belajar dari Cina agar dapat bangkit kembali dan menjadi “macan Asia” alih-alih menjadi negara penyakitan yang memiliki sumberdaya luarbiasa namun sayangnya terus terpuruk dalam kesengsaraan dan kemiskinan…jika negara Cina yang mengaku Komunis dan secara resmi tidak mempercayai keberadaan Tuhan saja bisa berlaku tegas terhadap pelaku korupsi (dan menghukum mati mereka), apakah sebuah negara Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat berlaku lebih baik?




“Gerbang Sang Hakim terbuka ke Selatan. Namun, hanya dengan Kasus yang Bagus dan tanpa Uang, siapa yang berani masuk?”
(nyanyian tradisional petani Cina tentang pejabat pengadilan yang korup)



Bandung, 02Mei2010, 15.20

The Kingdom of Joy, “Untaian Kisah Menawan dari Matsnawi Rumi “


Review Buku

Judul : The Kingdom of Joy, “Untaian Kisah Menawan dari Matsnawi Rumi “

Pengarang : Abdul Rahman Azzam

Pengantar : Profesor Annemarie Schimmel

Penerbit : Hikmah, Cetakan I, Agustus 2007

Tebal : 219 halaman



“Aku tak melantunkan Matsnawi,” tulis Rumi, “untuk kau pegang atau kau ulang-ulang, tapi untuk kau taruh di bawah kakimu agar kau dapat terbang melayang. Matsnawi adalah anak tangga menuju kebenaran.”



Buku ini adalah ringkasan lain dari Matsnawi, sebuah karya besar dari Maulana Jalaluddin Rumi, seorang ulama mistikus Islam/sufi (dan masih merupakan keturunan dari Nabi Muhammad SAW) yang hidup kurang lebih pada abad ke-12 (30 September 1207 – 1273). Matsnawi adalah kumpulan kisah, parabel, dan puisi, yang terdiri kurang lebih dari 25.000 kuplet yang ditulis dalam bahasa Persia dan telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa seperti Turki, Urdu, Sindhu, Bengali, Inggris, Ceko, Prancis, Jerman, Swedia, Italia, dan bahasa dunia lainnya.


Dengan tebal hanya 219 halaman, tentunya sang penulis buku ini (Abdul Rahman Azzam) tidak dapat menuangkan semua kisah hikmah yang tercakup di dalam Matsnawi; alih-alih, ia merangkai 21 buah kisah dalam 7 bab menjadi sebuah tuturan cerita yang saling terjalin berkelindan satu sama lain, sehingga seolah menjadi sebuah cerita tersendiri yang dapat kita nikmati secara ringan tanpa harus banyak berfikir atau merenung untuk mendapatkan hikmah dari kisah-kisah tersebut. Penulis memberi tafsiran dalam cetak miring di setiap akhir cerita, sehingga kita dapat langsung menangkap makna dari setiap kisah atau cerita yang disarikan dari Matsnawi. Selain itu, buku ini dihiasi oleh ilustrasi berwarna bergaya “miniaturis Islam” (gaya ilustrasi buku khas Persia yang berkembang pada zaman kekhalifahan dan kesultanan Islam) yang dibuat oleh Fatima Zahra Hasan, sehingga menambah keindahan dan kenikmatan pembaca dalam mencerna pelbagai kisah hikmah ala Rumi dalam buku ini.


Secara singkat, buku ini adalah buku yang menghibur, tidak membuat kening kita berkerut untuk memikirkan makna atau tafsiran dari kisah yang dimuat di dalamnya, dan dapat diselesaikan dengan sekali duduk (jika anda bersedia duduk beberapa jam untuk menuntaskan buku ini, tentunya).

Keajaiban dari kisah-kisah Rumi adalah bahwa ia tak lekang dikandung zaman; pelbagai kisah hikmah ini dapat mengandung tawa, tangis, suka, dan atau duka; bisa menjadi hiburan sejenak di tengah kepenatan hidup yang melanda, atau bisa juga menjadi sebuah bahan renungan bagi refleksi diri di tengah galau kehidupan dunia. Bahkan salah satu kisah dari buku ini yaitu “Pria yang Memimpikan Kairo” menjadi sumber cerita dari sebuah buku bestseller internasional yang dikarang oleh Paulo Coelho yaitu “Sang Alkemis”.


Di bawah ini adalah sebuah contoh ringkasan kisah dari buku ini mengenai kisah “Penjual Minyak Wangi dan Burung Kakaktua” :


Syahdan, di kota Baghdad tinggal seorang penjual minyak wangi dan burung kakaktuanya yang cerewet. Pada suatu ketika, sang burung – yang biasa terbang bebas di sekitar toko – menumpahkan sebotol minyak wangi tanpa sengaja. Mengetahui kecerobohan si burung, sang penjual minyak wangi marah dan memukul kepala si burung sehingga burung itu menjadi botak dan pendiam. Menyesal akan perbuatannya, sang penjual minyak wangi berusaha membuat kepala si burung menjadi berjambul indah kembali serta kembali menjadi ceriwis seperti sedia kala. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, berbagai usaha telah dilaksanakan, sayembara penyembuhan telah digulirkan, namun si burung tetap menjadi burung yang pendiam – dengan kepala botak.

Lalu, suatu hari seorang darwis (sufi/mistikus Islam) pengelana kebetulan lewat. Darwis itu berpakaian karung dan kepalanya ‘gundul’ – dalam arti tak bersorban ataupun tak berambut sama sekali; kepalanya licin bagaikan bagian luar baskom atau mangkuk.

Tak lama setelah si burung kakaktua melihat darwis pengelana yang gundul itu, ia merasa gembira dan menyapa dengan suara keras darwis itu:


“Halo, kau yang disana! Apa kau juga menumpahkan minyak wangi?”


Berikut adalah daftar kisah yang disarikan dari Matsnawi di dalam buku ini :


Bab 1 – Penjual Minyak Wangi dan Burung Kakaktua/Nabi Sulaiman dan Malaikat Maut

Bab 2 – Dua Pemburu Beruang/Hati-hati Berkawan dengan Seekor Beruang!

Bab 3 – Sang Guru dan Si Beruang/Sang Sultan dan Putranya yang Pandir/Apakah Sultan bisa Berbahasa Arab?

Bab 4 – Pedagang yang Tersesat/Sang Singa dan Si Kelinci

Bab 5 – Tato Singa/Si Unta, Si Lembu, dan Si Domba

Bab 6 – Mahasiswa dan Tukang Kebun/Sang Sultan dan Ayaz/Kalau ini Kucingnya, Lantas mana Dagingnya?

Bab 7 – Bayi di Atas Atap/Imam Ali dan Si Kafir/Pandai Emas yang Menolak Menjual Emas/Dimana Bulan Sabitnya?/Pria yang Memimpikan Kairo/Pesan Dalqak/Sang Musikus Tua



“Itulah pesannya! Matilah sebelum kau mati. Hanya dengan melupakan keindahan sangkar burung dan rasa manisanlah aku bisa temukan jalan pulang.”

(celoteh si Kakaktua kepada Penjual Minyak Wangi)

Bandung, 02Mei2010, 13.45