Review Buku
Judul : The
Pengarang : Abdul Rahman Azzam
Pengantar : Profesor Annemarie Schimmel
Penerbit : Hikmah, Cetakan I, Agustus 2007
Tebal : 219 halaman
“Aku tak melantunkan Matsnawi,” tulis Rumi, “untuk kau pegang atau kau ulang-ulang, tapi untuk kau taruh di bawah kakimu agar kau dapat terbang melayang. Matsnawi adalah anak tangga menuju kebenaran.”
Buku ini adalah ringkasan lain dari Matsnawi, sebuah karya besar dari Maulana Jalaluddin Rumi, seorang ulama mistikus Islam/sufi (dan masih merupakan keturunan dari Nabi Muhammad SAW) yang hidup kurang lebih pada abad ke-12 (30 September 1207 – 1273). Matsnawi adalah kumpulan kisah, parabel, dan puisi, yang terdiri kurang lebih dari 25.000 kuplet yang ditulis dalam bahasa Persia dan telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa seperti Turki, Urdu, Sindhu, Bengali, Inggris, Ceko, Prancis, Jerman, Swedia, Italia, dan bahasa dunia lainnya.
Dengan tebal hanya 219 halaman, tentunya sang penulis buku ini (Abdul Rahman Azzam) tidak dapat menuangkan semua kisah hikmah yang tercakup di dalam Matsnawi; alih-alih, ia merangkai 21 buah kisah dalam 7 bab menjadi sebuah tuturan cerita yang saling terjalin berkelindan satu sama lain, sehingga seolah menjadi sebuah cerita tersendiri yang dapat kita nikmati secara ringan tanpa harus banyak berfikir atau merenung untuk mendapatkan hikmah dari kisah-kisah tersebut. Penulis memberi tafsiran dalam cetak miring di setiap akhir cerita, sehingga kita dapat langsung menangkap makna dari setiap kisah atau cerita yang disarikan dari Matsnawi. Selain itu, buku ini dihiasi oleh ilustrasi berwarna bergaya “miniaturis Islam” (
Secara singkat, buku ini adalah buku yang menghibur, tidak membuat kening kita berkerut untuk memikirkan makna atau tafsiran dari kisah yang dimuat di dalamnya, dan dapat diselesaikan dengan sekali duduk (jika anda bersedia duduk beberapa jam untuk menuntaskan buku ini, tentunya).
Keajaiban dari kisah-kisah Rumi adalah bahwa ia tak lekang dikandung zaman; pelbagai kisah hikmah ini dapat mengandung tawa, tangis, suka, dan atau duka; bisa menjadi hiburan sejenak di tengah kepenatan hidup yang melanda, atau bisa juga menjadi sebuah bahan renungan bagi refleksi diri di tengah galau kehidupan dunia. Bahkan salah satu kisah dari buku ini yaitu “Pria yang Memimpikan Kairo” menjadi sumber cerita dari sebuah buku bestseller internasional yang dikarang oleh Paulo Coelho yaitu “Sang Alkemis”.
Di bawah ini adalah sebuah contoh ringkasan kisah dari buku ini mengenai kisah “Penjual Minyak Wangi dan Burung Kakaktua” :
Syahdan, di
Lalu, suatu hari seorang darwis (sufi/mistikus Islam) pengelana kebetulan lewat. Darwis itu berpakaian karung dan kepalanya ‘gundul’ – dalam arti tak bersorban ataupun tak berambut sama sekali; kepalanya licin bagaikan bagian luar baskom atau mangkuk.
Tak lama setelah si burung kakaktua melihat darwis pengelana yang gundul itu, ia merasa gembira dan menyapa dengan suara keras darwis itu:
“Halo, kau yang disana! Apa kau juga menumpahkan minyak wangi?”
Berikut adalah daftar kisah yang disarikan dari Matsnawi di dalam buku ini :
Bab 1 – Penjual Minyak Wangi dan Burung Kakaktua/Nabi Sulaiman dan Malaikat Maut
Bab 2 – Dua Pemburu Beruang/Hati-hati Berkawan dengan Seekor Beruang!
Bab 3 – Sang Guru dan Si Beruang/Sang Sultan dan Putranya yang Pandir/Apakah Sultan bisa Berbahasa Arab?
Bab 4 – Pedagang yang Tersesat/Sang Singa dan Si Kelinci
Bab 5 – Tato Singa/Si Unta, Si Lembu, dan Si Domba
Bab 6 – Mahasiswa dan Tukang Kebun/Sang Sultan dan Ayaz/Kalau ini Kucingnya, Lantas mana Dagingnya?
Bab 7 – Bayi di Atas Atap/Imam Ali dan Si Kafir/Pandai Emas yang Menolak Menjual Emas/Dimana Bulan Sabitnya?/Pria yang Memimpikan Kairo/Pesan Dalqak/Sang Musikus Tua
“Itulah pesannya! Matilah sebelum kau mati. Hanya dengan melupakan keindahan sangkar burung dan rasa manisanlah aku bisa temukan jalan pulang.”
(celoteh si Kakaktua kepada Penjual Minyak Wangi)
No comments:
Post a Comment